Asal usul kata ngayau umumnya terdapat kesepakatan di kalangan suku
Dayak. Namun, kapan ngayau dimulai dan bagaimanakah sejarahnya, agaknya
masih simpang siur dan sering muncul dalam berbagai versi.
Hal
itu disebabkan belum ada studi dan catatan sejarah mengenai asal mula
ngayau secara detail dan kronologis. Hanya ada catatan mengenai
kesepakatan bersama seluruh etnis Dayak Borneo untuk mengakhirinya. Ini
terjadi pada pada 22 Mei - 24 Juli 1894, ketika diadakan Musyawarah
Besar Tumbang Anoi di Desa Huron Anoi Kahayan Ulu Kalimantan Tengah.
Benar
adanya bahwa sebelum perjanjian Tumbang Anoi disepakati, terjadi
praktik headhunting bahkan di kalangan sesama Dayak. Praktik ngayau
antarsesama Dayak ini sukar dibantah dan memang demikianlah adanya.
Dayak Jangkang misalnya, dahulu kala bermusuhan dengan Dayak Ribunt.
Padahal, keduanya tidak berjauhan tempat tinggal.
Apakah faktor yang menyebabkan pengayauan antarDayak ini terjadi?
Saling
mengayau di antara sesama Dayak, sejatinya bukanlah semata-mata mencari
kepala musuh sebagai tanda bukti kekuatan dan kebanggaan sebagaimana
selama ini dipersepsikan banyak orang. Alasan ini terlampau sederhana!
Lebih dari itu, dilatari juga oleh nafsu balas dendam dan sebagai cara
mempertahankan diri: menyerang lebih dulu sebelum diserang. Ini mirip
dengan pepatah Latin si vis pacem, para bellum (jika Anda menginginkan
damai, siap sedialah untuk perang).
Masuknya agama Katolik di
tengah-tengah etnis Dayak, terutama dengan datangnya misi Katolik ke
pulau Borneo di pengujung abad 18, membawa pengaruh baik. Perlahan-lahan
ajaran Katolik tentang balas dendam (mata ganti mata, gigi ganti gigi)
merasuk dalam hidup orang Dayak.
Ajaran Kristen yang radikal
untuk tidak balas dendam dengan hukum “mata ganti mata, tulang ganti
tulang” segera merasuk etnis Dayak. Ajaran cinta kasih ini menyadarkan
masyarakat Dayak untuk segera menghentikan tradisi mengayau ini.
Musyawarah ini dihadiri para kepala adat se-Kalimantan yang berkumpul
dan bersepakat untuk menghentikan pengayauan antarsesama Dayak. Namun,
pertemuan yang berbuah kesepakatan Tumbang Anoi sendiri diprakarsai
pemerintah Hindia Belanda.
Ngayau berasal dari kata kayau yang
berarti “musuh”. J.U. Lontaan, op.cit. hal. 532. Selanjutnya, untuk
mendukung pendapatnya, Lontaan mengutip Alfred Russel Wallage dalam The
Malay Archhipelago, 1896: 68, “… headhunting is a custom originating in
the petty wars of village with village and tribe with tribe….”
Terdapat berbagai versi etimologi ngayau. Sebagai contoh, Fridolin Ukur dalam buku Tantang Jawab Suku Daya
menyebut bahwa ngayau mencari kepala musuh. Sedangkan bagi Dayak
Lamandau dan Delang di Kalimantan Tengah, mengayau berasal dari kata
“kayau” atau “kayo’; yang artinya mencari. Mengayau berarti men¬cari
kepala musuh. Jadi, mengayau ialah suatu perbuatan dan tindak-budaya
mencari kepala musuh.
Bai Dayak Jangkang, ngayau juga disebut
ngayo. Berasal dari kata “yao” yang berarti: bayang-bayang, mengahantui,
meniadakan, atau memburu kepala musuh sebagai prasyarat atau pesta
gawai. Ada gawai khusus untuk merayakan kepala musuh dengan tarian
perang, yakni gawai naja bak (pesta kepala).
Namun, serta merta
perlu diberikan catatan pada apa yang disebutkan perbuatan dan
tindak-budaya ini. Kedengarannya aneh di telinga untuk saat ini. Namun,
jika menyelami keyakinan etnis Dayak lebih mendalam maka kita akan
segera menjadi mafhum di balik tradisi mengayau ini.
Ngayau tidak
terlepas dari keyakinan komunitas Dayak sebagai sebuah entitas. Hal ini
dapat ditelusuri dari cerita lisan dan tradisi yang diturunkan dari
mulut ke mulut. Menurut keyakinan yang dipegang teguh, orang Dayak yakin
mereka adalah keturunan makhluk langit. Ketika turun ke dunia ini,
menjadi makhluk yang paling mulia dan, karena itu, menjadi penguasa
bumi.
Keyakinan ini, pada gilirannya, membawa konsekuensi orang
Dayak lalu memandang rendah entis lain. Jika menganggu dan mengancam
keberadaan dan kelangsungan hidup mereka, etnis lain dapat disingkirkan.
Namun, harus ada alasan yang kuat untuk itu. Darah hewan, apalagi
manusia, tabu untuk ditumpahkan. Jika sampai terjadi, mereka akan
menuntut balas.
Prinsip bahwa mata ganti mata, gigi ganti gigi
benar-benar diterapkan. Meski mengalami penyempurnaan dan penyesuaian,
sisa-sisa praktik ini “mata ganti mata, gigi ganti gigi” ini masih
diteruskan di Jangkang hingga hari ini.
Pasal-pasal hukum adat
Kecamatan Jangkang masih terasa kental nuansa penuntutan atas
pertumpahan darah ini. Terbukti dari diaturnya secara detail pasal-pasal
yang menetapkan pengadilan atas perkara dari mulai yang terkecil kasus
pertumpahan darah hingga mengakibatkan kematian, yang dalam bahasa Dayak
Jangkang disebut dengan “Adat Pati Nyawa”.
Satuan untuk
menghitung ganti atas pertumpahan darah unik, disebut dengan tael. Di
masa lampau, menghilangkan nyawa manusia baik sengaja (misalnya
tertembak waktu berburu) maupun secara sengaja maka si pelaku akan
mengalami kesulitan membayarnya. Seisi keluarga dan sanak saudara akan
turut terlibat membantu. Bahkan, bukan tidak mungkin sampai seumur hidup
pelaku menunaikan kewajibannya membayar Adat Pati Nyawa.
Apakah
Adat Pati Nyawa? Secara harfiah, pati berarti sari atau inti. Kata
“pati” kerap muncul dalam bahasa Dayak dengan inisial dan pembagian Djo
(lihat Ethnologue: Languages of the World, Fifteenth edition, Dallas, “Djongkang: A language of Indonesia” (Kalimantan) ISO 639-3: djo
Jadi,
pati nyawa adalah pengganti nyawa yang hilang. Tentu saja, hukum pati
nyawa ini tidak berlaku dalam ngayau. Dan hanya berlaku dalam keadaan
normal saja, sebab pekik ngayau haruslah datang dari aump dan merupakan
hasil dari permufakatan bersama.
Demikianlah, ngayau pun harus
disertai alasan-alasan yang kuat dan masuk akal bagi komunitas Dayak dan
harus melalui hasil mufakat bersama. Disebut komunitas, karena suatu
kampung biasanya menempati sebuah batang atau rumah panjang. Sebelum
melancarkan pengayauan, malam harinya diadakan musyawarah bersama yang
dalam bahasa Dayak Jangkang disebut boraump. Semua peserta wajib
memberikan pendapat dan penilaian. Keputusan diambil dengan berpangkal
tolak pada suara dan pendapat mayoritas.
Patut diberi catatan
tambahan bahwa ngayau di kalangan suku Dayak umumnya, dan Dayak
Djongkang khususnya, bukan sekadar memanggal kepala musuh. Ada filosofi
yang melatarinya. Banyak kandungan hikmah, meski sekilas tampak sadis,
di balik itu semua.
Orang luar yang kurang memahami secara
mendalam filosofi dan latar di balik tradisi ngayau, sehingga menarik
simpulan entimema: orang Dayak biadab, sadis, pemburu kepala manusia,
dan headhunting. Tentang labeling bahwa Dayak adalah pemburu kepala
manusia ini, Wikimedia bahkan mencatatnya sebagai “budaya” yang
semestinya harus serta merta diberikan catatan bahwa itu adalah gambaran
Dayak masa lampau. Perjanjian Tumbang Anoi yang difasilitasi Pemerintah
Kolonial Belanda menghapuskan budaya ngayau ini. Di beberapa subsuku
memang masih berlangsung, namun di Kalbar tradisi mengayau sudah
berakhir pada sekitar sejak tahun 1938.
Toh demikian, Wikipedia yang tidak tahu sejarahnya masih mencatat demikian, “Headhunting
was an important part of Dayak culture, in particular to the Iban and
Kenyah. There used to be a tradition of retaliation for old headhunts,
which kept the practise alive. External interference by the reign of the
Brooke Rajahs in Sarawak and the Dutch in Kalimantan Borneo curtailed
and limited this tradition. Apart from massed raids, the practice of
headhunting was limited to individual retaliation attacks or the result
of chance encounters. Early Brooke Government reports describe Dayak
Iban and Kenyah War parties with captured enemy heads. At various times,
there have been massive coordinated raids in the interior, and
throughout coastal Borneo, directed by the Raj during Brooke's reign in
Sarawak. This may have given rise to the term, Sea Dayak, although,
throughout the 19th Century, Sarawak Government raids and independent
expeditions appeared to have been carried out as far as Brunei,
Mindanao, East coast Malaya, Jawa and Celebes. Tandem diplomatic
relations between the Sarawak Government (Brooke Rajah) and Britain
(East India Company and the Royal Navy) acted as a pivot and a
deterrence to the former's territorial ambitions, against the Dutch
administration in the Kalimantan regions and client Sultanates.”
Tidak
mengherankan, dalam literatur dan laporan-laporan tertulis pada zaman
kolonial, Dayak dicap sebagai suku asli Borneo yang tidak berkeadaban.
Meski para peneliti dan ahli antropologi tidak memasukkan Dayak sebagai
suku terakhir di Nusantara yang mempraktikkan headhunting,
toh stereotipe sebagai pengayau masih melekat kuat minimal hingga
kerusuhan etnis terjadi di Sambas pada 19 Januari 1999 di Desa Parit
Setia, Kecamatan Jawai, Sambas dan kemudian merambat ke Sampit pada 18
Februari 2001.
Banyak orang melihat pertalian kejadian itu, meski
sebenarnya berbeda dalam hal casus belli dan eskalasi. Akan tetapi,
satu yang sama: solidaritas di kalangan etnis Dayak tumbuh menghadapi
bahaya dari luar. Dalam konteks mempertahankan diri dan melakukan
tindakan menyerang lebih dulu sebelum diserang ini, dapat dipahami latar
dan filosofi ngayau.
Sumber: http://www.ceritadayak.com/2010/05/etimologi-dan-asal-usul-ngayau.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar