Oleh : Herman Ivo
A. Pengantar
Gawai Dayak merupakan satu-satunya peristiwa budaya Dayak yang dilaksanakan secara rutin setiap tahun di kota Pontianak, Kalimantan Barat. Dalam gawai, selain acara inti yakni nyangahathn (pembacaan mantra), juga ditampilkan berbagai bentuk budaya tradisional seperti berbagai upacara adat, permainan tradisional, dan berbagai bentuk kerajinan yang juga bernuansa tradisional. Penyajian berbagai unsur tradisional, selama Gawai Dayak, menjadikannya sebagai event yang eksotis di tengah masyarakat perkotaan yang modern.
Gawai Dayak merupakan satu-satunya peristiwa budaya Dayak yang dilaksanakan secara rutin setiap tahun di kota Pontianak, Kalimantan Barat. Dalam gawai, selain acara inti yakni nyangahathn (pembacaan mantra), juga ditampilkan berbagai bentuk budaya tradisional seperti berbagai upacara adat, permainan tradisional, dan berbagai bentuk kerajinan yang juga bernuansa tradisional. Penyajian berbagai unsur tradisional, selama Gawai Dayak, menjadikannya sebagai event yang eksotis di tengah masyarakat perkotaan yang modern.
Gawai Dayak bukanlah peristiwa budaya yang murni
tradisional, baik dilihat dari tempat pelaksanaan maupun isinya. Gawai Dayak
merupakan perkembangan lebih lanjut dari acara pergelaran kesenian Dayak yang
diselenggarakan pertama kalinya oleh Sekretariat Bersama Kesenian Dayak
(Sekberkesda) pada tahun 1986. Perkembangan tersebut kuat dipengaruhi oleh
semangat upacara syukuran kepada Jubata yang dilaksanakan masyarakat Dayak
Kalbar setiap tahun setelah masa panen. Upacara adat syukuran sehabis panen ini
dilaksanakan oleh masyarakat Dayak dengan nama berbeda-beda. Orang Dayak Hulu
menyebutnya dengan Gawai, di Kabupaten Sambas dan Bengkayang disebut
Maka‘ Dio, sedangkan orang Dayak Kayaan, di Kampung Mendalam, Kabupaten Putus
Sibau menyebutnya dengan Dange.
Dalam bentuknya yang tradisional, pelaksanaan upacara
pascapanen ini dibatasi di wilayah kampung atau ketimanggungan. Acaranya pun
hanya terbatas pada nyangahathn (pelantunan doa/mantra) dan saling
kunjung dengan suguhan utamanya seperti: salikat/poe‘ (lemang/pulut dalam
bambu), tumpi‘ (cucur), bontokng (nasi yang dibungkus dengan
sejenis daun hutan seukuran kue), jenis makanan tradisional yang terbuat dari
bahan hasil panen tahunan dan bahan makanan tambahan lainnya. Gawai tradisional
pelaksanaannya memakan waktu sampai tiga bulan, yakni sekitar April sampai
Juni. Karena itulah, Gubernur Kalbar, Kadarusno mengarahkan agar upacara
syukuran ini dilaksanakan pada tanggal 20 Mei setiap tahun. Pada saat ini di beberapa daerah kabupaten acara
syukuran ini telah dimodifikasi dan diangkat menjadi acara tingkat kabupaten.
Selain liputan wilayahnya diperluas, acaranya pun ditambah dengan penampilan
berbagai tradisi Dayak yang ada di daerah yang bersangkutan, dan daerah lainnya
yang bersedia mengikuti acara tersebut. Di tingkat provinsi acara yang sama
disebut Gawai Dayak atau Upacara Adat Gawai Dayak.
B. Gawai Dayak sebagai Upacara Adat
Telah dikemukakan Gawai Dayak adalah nama lain upacara adat syukuran pascapanen di Pontianak. Hakikatnya sama dengan Naik Dango, atau Maka‘ Dio. “Tujuannya sendiri kurang labih sama, mengadakan pesta atau selamatan atas karunia yang diberikan oleh Jubata” (Akcaya, 1997:16). Gubernur Aswin dalam Akcaya 29 April 1994:03 mengatakan, “Upacara Naik Dango merupakan ungkapan rasa syukur atas keamanan, kesehatan, dan hasil panen yang melimpah, selain berusaha mencari terobosan baru sebagai usaha meningkatkan hasil pertanian pangan”. Jadi, Gawai Dayak pada prinsipnya sama dengan Naik Dango.
Telah dikemukakan Gawai Dayak adalah nama lain upacara adat syukuran pascapanen di Pontianak. Hakikatnya sama dengan Naik Dango, atau Maka‘ Dio. “Tujuannya sendiri kurang labih sama, mengadakan pesta atau selamatan atas karunia yang diberikan oleh Jubata” (Akcaya, 1997:16). Gubernur Aswin dalam Akcaya 29 April 1994:03 mengatakan, “Upacara Naik Dango merupakan ungkapan rasa syukur atas keamanan, kesehatan, dan hasil panen yang melimpah, selain berusaha mencari terobosan baru sebagai usaha meningkatkan hasil pertanian pangan”. Jadi, Gawai Dayak pada prinsipnya sama dengan Naik Dango.
“Orang Dayak paling tidak mengenal 18 tahapan upacara
adat perladangan mulai dari Baburukng sampai tahap terakhir yaitu, upacara adat
Naik Dango atau Ka‘ Pongo”, (1999:2). Sebelum hari H dilaksanakan, terlebih
dahulu diadakan pelantunan mantra (nyangahathn), yang disebut matik.
Tujuannya ialah memberitahukan dan mohon restu kepada Jubata bahwa besok akan
dilaksanakan pesta adat. Pada hari H dilaksanakan upacara adat dengan nyangahathn
di ruang tamu (sami), memanggil semangat (jiwa) padi yang belum kembali,
nyangahathn di lumbung padi (baluh atau langko) untuk mengumpulkan semangat
padi di tempatnya, dan nyangahatn di tempayan beras (pandarengan)
tujuannya memberkati beras agar bertahan dan tidak cepat habis.
Nyangahathn dapat disebut sebagai tata cara utama ekspresi
religi suku Dayak. Bahari Sinju dkk. (1996:146), berpandangan bahwa Nyangahatn
adalah wujut upacara religius. Ia menjadi bagian pokok dalam setiap bentuk
upacara, dengan urutan atau tahapan yang baku, kecuali bahan, jumlah roh suci,
para jubata yang diundang, dan tentu saja konteksnya. Dari segi tahapannya nyangahatn
terbagi menjadi (1) matik, (2) ngalantekatn, (3) mibis,
dan (4) ngadap Buis. Matik bertujuan memberitahukan hajat
keluarga kepada awa pama (roh leluhur) dan jubata. Ngalantekatn
bertujuan permohonan agar semua keluarga yang terlibat selamat. Mibis
bertujuan agar segala sesuatu (kekotoran) dilunturkan, dilarutkan, dan
diterbangkan dari keluarga dan dikuburkan sebagaimana matahari terbenam ke arah
barat. Terakhir adalah ngadap buis, yakni tahapan penerimaan sesajian (buis)
oleh awa pama dan jubata, dengan tujuan ungkapan syukur dan memperoleh berkat
atau pengudusan (penyucian) terhadap segala hal yang kurang berkenan, termasuk
pemanggilan semua jiwa yang hidup (yang tersesat) agar tenang dan tenteram.
Dilihat dari kondisi bahan yang
digunakan, tahapan pertama sampai ketiga, disebut nyangahatn manta,
yakni nyangahathn dengan bahan yang belum masak (mentah), sedangkan
ngadap buis disebut nyangahathn masak, disiapkan dengan bahan-bahan yang siap
hidang (sudah masak). Sebenarnya ada nyangahathn dalam bentuk yang
sederhana, yakni berupa ungkapan/doa pendek dengan sajian sederhana: nasi,
garam, dan sirih masak (kapur, sirih, gambir, tembakau, dan rokok daun nipah), nyangahathn
sederhana ini disebut babamang.
Gawai Dayak atau Naik Dango didasari mitos asal mula
padi yang populer di kalangan orang Dayak Kalbar, yakni cerita nek baruang
kulup. Cerita asal mula padi berawal dari setangkai padi milik jubata
di Gunung Bawakng yang dicuri seekor burung pipit dan jatuh ke tangan nek
jaek yang tengah mengayau. Kepulangannya yang hanya membawa
setangkai buah rumput menyebabkan ia diejek, dan keinginan membudidayakannya
menyebabkan pertentangan dan bahkan ia diusir. Dalam pengembaraannya ia bertemu
dengan jubata. Hasil perkawinannya dengan Jubata, adalah nek baruang
kulup. Nek baruang kulup inilah yang akhirnya membawa padi kepada talino
(manusia,) lantaran ia suka turun ke dunia bermain gasing. Perbuatan ini juga
menyebabkan ia diusir dari Gunung Bawakng dan akhirnya kawin dengan manusia.
Padi akhirnya menjadi makanan sumber kehidupan yang menyegarkan, sebagai
pengganti kulat (jamur) bagi manusia. Namun, untuk memperoleh padi
terjadi tragedi pengusiran di lingkungan keluarga manusia dan jubata yang
menunjukkan kebaikan hati Jubata bagi manusia. Fungsi padi dan kemurahan jubata
inilah yang menjadi dasar upacara Naik Dango.
Menurut Bahari, dkk. (1999:243).,
makna upacara Naik Dango antara lain, adalah
menyukuri karunia jubata;
mohon restu kepada jubata
untuk menggunakan padi yang telah disimpan di dangao padi;
pertanda penutupan tahun
berladang;
mempererat hubungan
persaudaraan/solidaritas.
Dalam kemasan modern, upacara
adat ini dimeriahi oleh berbagai bentuk acara adat, kesenian tradisional, dan
pemeran berbagai bentuk kerajinan tradisional. Hal ini menyebabkan Gawai
Dayak lebih menonjol sebagai pesta daripada sebagai upacara ritual. Namun,
dilihat dari tradisi akarnya, ia tetap sebuah upacara adat.
C. Faktor-Faktor Pendukung Keberadaan Gawai Dayak
1. Spirit Kelompok Urban
Keberadaan Gawai Dayak tidak lepas dari spirit kelompok urban asal Dayak. Sampai tahun 1980-an jumlah orang Dayak di kota Pontianak masih sangat sedikit. Meski demikian, beberapa figur telah ada yang aktif di partai, antara lain, PC Palaoen Soeka, Masardi Kaphat, Moses Nyawath, Rahmat Sahudin, dll. Kiprah kelompok politisi yang senantiasa berurusan dengan konsep kelompok dan massa, telah mendorong upaya untuk membangkitkan kebersamaan di antara sesama Dayak.
1. Spirit Kelompok Urban
Keberadaan Gawai Dayak tidak lepas dari spirit kelompok urban asal Dayak. Sampai tahun 1980-an jumlah orang Dayak di kota Pontianak masih sangat sedikit. Meski demikian, beberapa figur telah ada yang aktif di partai, antara lain, PC Palaoen Soeka, Masardi Kaphat, Moses Nyawath, Rahmat Sahudin, dll. Kiprah kelompok politisi yang senantiasa berurusan dengan konsep kelompok dan massa, telah mendorong upaya untuk membangkitkan kebersamaan di antara sesama Dayak.
Pada tahun 1986 dibentuklah Sekretariat Kesenian Dayak
(Sekberkesda), yang salah satu tugasnya adalah mengorganisasikan pelaksanaan
pergelaran seni budaya Dayak, yang selanjutnya berubah menjadi Gawai Dayak.
Keinginan untuk saling memperkuat dan memperkenalkan tradisi Dayak mendorong
kehadiran simbol yang dapat menjadi perekat sesama orang Dayak. Gawai Dayak
menjadi simbol yang menyadarkan bahwa setiap Dayak berasal dari leluhur dan
budaya yang sama. Simbol ini telah menjadi media
untuk menyegarkan kesadaran akan tradisi masa lalu di antara sesama urban
selama kurang lebih dari satu dasa warsa.
Bolehjadi Sekberkesda pada
mulanya merupakan sarana politik. Namun, keberadaan organisasi ini menandai
awal perhatian dan kecintaan terhadap budaya Dayak di kalangan Dayak di
perkotaan secara terorganisasi dalam lingkup yang lebih luas daripada sekedar
sanggar-sanggar. Hal ini terlihat dari bergabungnya sekitar 8 buah sanggar pada
waktu itu. Manufer di sektor politik pada waktu itu berdampak positif, yakni
memajukan perhatian untuk mengembangkan seni budaya Dayak di Pontianak.
2. Telah Bertahan Lebih dari Satu
Dasa Warsa
Jika dihitung dari dilaksanakannya Malam Pergelaran Kesenian Dayak pertama kalinya, 30 Juni 1986, upacara adat Gawai Dayak telah bertahan lebih dari 10 tahun. Perlu diinformasikan juga bahwa sejak 1992, nama Gawai Dayak berubah menjadi pekan Gawai Dayak, yang artinya Gawai Dayak dicanangkan untuk dilaksanakan selama sepekan. Namun, pelaksanaan Gawai Dayak tidak selalu mulus. Gejolak konflik bernuansa etnis yang terjadi berulang kali di Pontianak berdampak pelaksanaan tidak sesuai dengan jadwal, bahkan ditiadakan.
Jika dihitung dari dilaksanakannya Malam Pergelaran Kesenian Dayak pertama kalinya, 30 Juni 1986, upacara adat Gawai Dayak telah bertahan lebih dari 10 tahun. Perlu diinformasikan juga bahwa sejak 1992, nama Gawai Dayak berubah menjadi pekan Gawai Dayak, yang artinya Gawai Dayak dicanangkan untuk dilaksanakan selama sepekan. Namun, pelaksanaan Gawai Dayak tidak selalu mulus. Gejolak konflik bernuansa etnis yang terjadi berulang kali di Pontianak berdampak pelaksanaan tidak sesuai dengan jadwal, bahkan ditiadakan.
Kemampuannya bertahan lebih dari
sepuluh tahun menunjukkan bahwa Gawai sudah menjadi tradisi bagi
masyarakat Dayak di Pontianak. Ia telah menjadi media yang dibutuhkan untuk
menyegarkan semangat solidaritas sesama Dayak dalam lingkaran rutinitas
kehidupan kota.
3. Dukungan Masyarakat Budaya
Kemampuannya bertahan tidak terlepas dari kekuatan atau faktor-faktor luar seperti pendanaan dari pemerintah daerah, kepentingan pengembangan periwisata, atau bahkan kepentingan-kepentingan yang bernuansa politis. Namun, Gawai Dayak sebagian besar mendapat dukungan masyarakat budaya; dalam arti, masyarakat Dayak dengan orientasi kepentingan budaya. Pada saat ini, Sekberkesda didukung oleh lebih kurang 23 sanggar yang dapat dilihat sebagai representiasi berbagai kelompok subsuku Dayak yang ada di Pontianak.
Kemampuannya bertahan tidak terlepas dari kekuatan atau faktor-faktor luar seperti pendanaan dari pemerintah daerah, kepentingan pengembangan periwisata, atau bahkan kepentingan-kepentingan yang bernuansa politis. Namun, Gawai Dayak sebagian besar mendapat dukungan masyarakat budaya; dalam arti, masyarakat Dayak dengan orientasi kepentingan budaya. Pada saat ini, Sekberkesda didukung oleh lebih kurang 23 sanggar yang dapat dilihat sebagai representiasi berbagai kelompok subsuku Dayak yang ada di Pontianak.
Dukungan ini menjadi faktor
kekuatan yang luar biasa. Yang masih menjadi persoalan bagi Sekberkesda adalah
bagaimana memanfaatkan kekuatan itu, bagaimana mengembangkan Sekberkesda
menjadi lembaga yang dapat berbuat optimal dalam mengembangkan dan mendayagunakan
potensi yang ada., termasuk mengangkat Gawai Dayak menjadi peristiwa
budaya bertaraf nasional, bahkan internasional.
D. Fanatisme Rumah Panjang
Gawai Dayak di Pontianak selalu difokuskan di rumah panjang atau (oleh Pemda diberi nama) rumah betang. Menurut Ketua Harian Majelis Adat Dayak, Ir Syaikun Riyadi, rumah betang ini didirikan sekitar tahun 1980 –an. Hampir seluruh kegiatan Gawai dilaksanakan di tempat ini, kecuali kegiatan-kegiatan yang tidak mungkin dilaksanakan lagi di rumah betang, misalnya pemilihan bujang dara Gawai, pameran benda-benda kerajinan yang pesertanya cukup banyak, dll. Rumah betang ini juga menjadi sekretariat MAD (Majelis Adat Dayak), yakni sebuah organisasi yang memfokuskan diri pada pengkoordinasian beberapa Dewan Adat Dayak (DAD), terutama dalam hal penanganan masalah pelanggaran hukum adat. MAD dan DAD dapat dilihat sebagai wujud konkret dari kecintaan dan perhatian terhadap budaya Dayak, yang moralnya secara akumulatif dibentuk oleh rangkaian kegiatan Gawai Dayak.
Gawai Dayak di Pontianak selalu difokuskan di rumah panjang atau (oleh Pemda diberi nama) rumah betang. Menurut Ketua Harian Majelis Adat Dayak, Ir Syaikun Riyadi, rumah betang ini didirikan sekitar tahun 1980 –an. Hampir seluruh kegiatan Gawai dilaksanakan di tempat ini, kecuali kegiatan-kegiatan yang tidak mungkin dilaksanakan lagi di rumah betang, misalnya pemilihan bujang dara Gawai, pameran benda-benda kerajinan yang pesertanya cukup banyak, dll. Rumah betang ini juga menjadi sekretariat MAD (Majelis Adat Dayak), yakni sebuah organisasi yang memfokuskan diri pada pengkoordinasian beberapa Dewan Adat Dayak (DAD), terutama dalam hal penanganan masalah pelanggaran hukum adat. MAD dan DAD dapat dilihat sebagai wujud konkret dari kecintaan dan perhatian terhadap budaya Dayak, yang moralnya secara akumulatif dibentuk oleh rangkaian kegiatan Gawai Dayak.
Di Kalimantan Barat rumah panjang identik
dengan orang Dayak. Tidak ada suku lainnya di Kalimantan Barat, bahkan di
Kalimantan yang memiliki tempat tinggal sama atau mirip dengan rumah panjang.
Meski demikian, pada saat ini bagi sebagian besar generasi Dayak, budaya rumah
panjang hanya tinggal cerita. Sepengetahuan penulis salah satu peninggalan rumah
panjang orang Dayak Kabupaten Pontianak ada di Desa Saham, sedangkan
menurut Fran l. dan Kanyan, Orang Dayak Iban di Kecamatan Embaloh Hulu masih
memiliki tiga rumah panjang. Fran (1994:201) juga menulis bahwa orang
Iban yang mendiami desa-desa di Kecamatan Batang Lupar dan lanjak Kabupaten
Kapuas Hulu hampir semuanya tinggal di rumah panjang yang mereka sebut rumah
panjae.
Punahnya rumah panjang merupakan bagian dari
sejarah panjang mengenai penghancuran budaya Dayak di Kalimantan Barat.
Penghancuran budaya Dayak telah bermula sejak masuknya agama baru, baik Islam
maupun Kristen. Orang Dayak yang masuk Islam mengidentifikasi diri sebagai
orang Islam, yang berarti meninggalkan identitas mereka sebagai orang Dayak.
Demikian juga, para penyebar agama Kristen yang mengemban tugas yang mereka
sebut La mission sacre (tugas suci). Orang Dayak yang tidak menganut
Nasrani disebut kafir, menyembah berhala, primitif, animisme dsb. Tugas Nasrani
memberadabkan orang Dayak karena menganut budaya yang mereka sebut sebagai Ragi
Usang. Konsep Ragi Usang ini pada prinsipnya ialah ingin
mengosongkan orang Dayak dari budaya mereka sendiri (Djuweng, dalam KR,
1998:7).
Pada masa Orba salah satu bentuk penghancuran budaya
Dayak adalah penghancuran rumah panjang pada tahun 1970–an karena hidup di
rumah panjang dianggap menyerupai cara komunis, berbahaya bagi kesehatan, dan
tidak bermoral karena melakukan seks bebas. “Kebijakan itu bukan saja menyinggung
perasaan orang Dayak, melainkan juga bisa mempercepat proses kehilangan
identitas mereka” (Jopsef, 1992:XVI)
Penghancuran budaya Dayak ini ternyata memiliki dampak
sangat mendalam. Terdapat orang Dayak yang akhirnya malu disebut atau
menyebutkan diri sebagai orang Dayak. Ada yang berpendapat citra buruk itu
dapat dihapus dengan mengganti identitas diri dengan cara masuk Islam, atau
menghilangkan konsonan ‘K‘ pada istilah Dayak, sehingga menjadi Daya. Namun,
ada yang berpendapat perbaikan citra bersifat lebih luas daripada sekedar
mengganti istilah Dayak, yakni meliputi perbaikan di segala sektor kehidupan
orang Dayak. Menurut Djuweng (2001:82), penggantian istilak Dayak menjadi Daya
tidak menguntungkan, bahkan merugikan karena justru menghilangkan etnisitas
sebagai salah satu wujud identitas Daya.
Fanatisme rumah panjang selain menuntut
pengadaan fisik rumah panjang sebagaimana tuntutan upacara di daerah-daerah,
juga menghendaki agar fungsinya sebagai pusat kebudayaan diberlakukan kembali.
Hal ini terlihat dari keinginan memusatkan segala kegiatan Gawai Dayak
di rumah panjang. Dengan kata lain, fanatisme rumah panjang, menyangkut rumah
panjang sebagai pusat kebudayaan yang meliputi bergai sistem sosial yang ada di
dalamnya. Gawai Dayak menjadi proses penelusuran kembali salah satu
identitas penting dalam budaya Dayak yang terlindas sejarah masa lalu.
Harian Akcaya (30 Mei 1994: 03), berkaitan dengan
pelaksanaan Maka‘ Dio di Kabupaten Sambas menulis “Upacara Maka‘ Dio, kata
Libertus, suatu wadah komunikasi budaya asli daerah yang perlu dilestarikan
sebagai bahan dalam usaha menyukseskan pembangunan. Selain itu, hal ini juga
mengenal dan memantapkan identitas Dayak dalam bentuk yang mudah dikenal dan
diamati oleh masyarakat.
Dalam harian yang sama tertulis, “Gubernur dalam
sambutannya mengatakan upacara adat Naik Dango dilihat dari kacamata budaya
perlu dilestarikan karena mempunyai nilai budaya yang perlu diangkat ke
permukaan sehingga identitas budaya suku Dayak di Kabupaten Pontianak dapat
dikenal sebagai sesuatu yang menarik, baik wisman maupun domestik (Akcaya, 29
April, 1994:03).
Dikaitkan dengan penghancuran rumah panjang di masa
silam, penegasan kembali identitas budaya rumah panjang juga dapat dilihat
sebagai proses perlawanan panjang atas sejarah untuk memperoleh kembali apa
yang sebelumnya dipaksahilangkan melalui penghancuran budaya Dayak, yakni
pengakuan dan penghargaan terhadap orang Dayak sebagai sesama dengan segala
kekhasannya. Orang Dayak tidak ingin sekedar dianggap ada, tetapi hak-hak
mereka sebagai warga dihormati dan dihargai. Dalam perspektif ini Gawai
Dayak tidak hanya strstegis bagi pengembangan seni budaya Dayak, tetapi
juga strategi bagi membangun dimensi kemanusiaan penting lainnya, yakni
perasaan sederajat, dan keyakinan terhadap budaya sendiri.
E. Pembuka Wawasan Pluralitas
Kalbar tergolong wilayah yang rentan konfliks bernuansa etnis. Kondisi ini tidak lepas dari kebijakan penyeragaman semasa Orba. Penyeragaman di bidang seni budaya merupakan tindakan sensor terselubung yang mengekang kebebasan berekspresi dan kreativitas. Dengan konsep budaya nasional sebagai puncak budaya daerah, negara mendapat legitimasi menentukan seni budaya daerah yang boleh berkembang dan tidak, bahkan menghancurkan kebudayaan tertentu yang dinilai menghambat agenda ekploitasi pusat terhadap daerah. Tekanan juga dilakukan dengan melancarkan istilah-istilah negatif bagi kebudayaan daerah seperti terbelakang, tidak modern, kafir, primitif, dsb. Hasilnya adalah masyarakat tidak terbiasa hidup dalam perbedaan dan tidak bisa menghargai perbedaan. Menurut Kusni (1994:50), masyarakat yang tidak tumbuh dalam budayanya menyuburkan gejala skeptifisme dan ketidakacuhan terhadap lingkungan.
Kalbar tergolong wilayah yang rentan konfliks bernuansa etnis. Kondisi ini tidak lepas dari kebijakan penyeragaman semasa Orba. Penyeragaman di bidang seni budaya merupakan tindakan sensor terselubung yang mengekang kebebasan berekspresi dan kreativitas. Dengan konsep budaya nasional sebagai puncak budaya daerah, negara mendapat legitimasi menentukan seni budaya daerah yang boleh berkembang dan tidak, bahkan menghancurkan kebudayaan tertentu yang dinilai menghambat agenda ekploitasi pusat terhadap daerah. Tekanan juga dilakukan dengan melancarkan istilah-istilah negatif bagi kebudayaan daerah seperti terbelakang, tidak modern, kafir, primitif, dsb. Hasilnya adalah masyarakat tidak terbiasa hidup dalam perbedaan dan tidak bisa menghargai perbedaan. Menurut Kusni (1994:50), masyarakat yang tidak tumbuh dalam budayanya menyuburkan gejala skeptifisme dan ketidakacuhan terhadap lingkungan.
Bagi masyarakat yang tidak
terbiasa dengan perbedaan, perbedaan budaya cenderung dilihat sebagai alasan
untuk mengambil jarak, bahkan alasan untuk saling menekan. Penyeragaman
menumbuhkan sikap konfrontatif dalam memandang kondisi pluralistik. Persoalan
individual mudah memancing sentimen etnik, dan persoalan kecil mudah berkembang
menjadi konfliks berskala besar. Situasi penyeragaman di satu sisi menyebabkan
setiap kelompok cenderung tetap terisolasi, di sisi lain tidak memiliki arah
berkembang yang jelas karena budaya nasional yang dijadikan kiblat tidak jelas
wujudnya. Akibatnya, masyarakat daerah retak-retak dalam pluralisme dan budaya
menjadi kerdil.
Menurut Awuy (2000:1), salah satu
upaya eliminasi kebijakan penyeragaman adalah mengakui bahwa kekuasaan yang
tidak realistis pada prinsipnya menyangkal keberagaman dan kepentingan
sebagaimana muncul dari keberagaman budaya kita. Artinya, pembukaan wawasan
pluralitas pertama-tama menghendaki adanya kesadaran bahwa stigmatisasi sosial
budaya, berbagai pandangan negatif terhadap kebudayaan daerah, termasuk seni
budaya adalah anak kandung dari penyeragaman pusat sebagai strategi
mempertahankan dominasi atas daerah. Berikutnya, perlu ditumbuhkan kecintaan
terhadap budaya sendiri dan penghargaan terhadap budaya yang berbeda. Dalam
konteks ini, Gawai Dayak menjadi salah satu event budaya selain dapat
menumbuhkan kecintaan terhadap budaya Dayak, sekaligus mempertegas identitas
orang Dayak sebagai media pemahaman budaya bagi pihak lainnya. Gawai Dayak
diharap menjadi fenomena budaya yang dapat menumbuhkan sikap mau menghargai
perbedaan dan sensitivitas terhadap perbedaan.
Di mata aktivis Gawai Dayak,
keberadaan Gawai harus dipertahankan karena menjadi sarana pendidikan
dan pewarisan budaya bagi generasi muda Dayak dan media berkomunikasi dengan
pihak lainnya. Dalam masyarakat yang pluralistik, pemberdayaan dan pelestarian
setiap unsur budaya menjadi hal penting mengingat setiap budaya/tradisi
memberikan pegangan bagi pemilik budaya dalam menata kehidupannya, baik dalam
berhubungan dengan sesama, lingkungan dan Sang Pencipta, serta memberikan
identitas jelas agar dapat berkomunikasi (dialog) secara sejajar dengan pihak
lainnya. Kusni (1994:50), mengatakan bahwa yang memiliki tempat dalam dialog
budaya nasional hanyalah mereka yang memiliki kebudayaan yang hidup, setia, dan
bertolak dari asalnya dan penuh kreativitas.
Hilangnya identitas dapat
menyebabkan hilangnya pengakuan, kepincangan komunikasi, kebijakan yang
diskriminatif, dan berbagai bentuk kecemburuan sosial yang dapat menyebabkan
keretakan, bahkan konflik dalam pluralitas. Dalam perspektif ini penegasan
identitas penting bagi memupuk kesadaran akan kemajemukan, sedangkan bagi
pemilik budaya, penegasan identitas penting sebab sebagaimana diungkap Kusni
(1994:50), apabila keadaan tanpa kreativitas berlangsung terus, kebudayaan
Dayak akan didominasi sehingga yang tertinggal hanyalah darah yang mengalir
secara alami. Namun, secara kebudayaan hal itu sudah menjadi tidak jelas
sehingga pengingkaran diri sebagai orang Dayak gampang terjadi.
F. Kesimpulan
Gawai Dayak merupakan satu-satunya peristiwa budaya Dayak Kalimantan Barat yang digelar rutin setiap tahun di Pontianak pada setiap Mei. Event budaya ini berakar dari tradisi terpenting suku Dayak, yakni upacara adat perladangan. Masyarakat Dayak mengenal 18 tahapan upacara adat perladangan. Upacara adat terakhir adalah Naik Dango. Upacara Naik Dango inilah yang selanjutnya disuguhkan dalam kemasan baru menjadi Gawai Dayak di tingkat Propinsi.
Gawai Dayak merupakan satu-satunya peristiwa budaya Dayak Kalimantan Barat yang digelar rutin setiap tahun di Pontianak pada setiap Mei. Event budaya ini berakar dari tradisi terpenting suku Dayak, yakni upacara adat perladangan. Masyarakat Dayak mengenal 18 tahapan upacara adat perladangan. Upacara adat terakhir adalah Naik Dango. Upacara Naik Dango inilah yang selanjutnya disuguhkan dalam kemasan baru menjadi Gawai Dayak di tingkat Propinsi.
Beberapa hal yang mendukung pelaksanaan Gawai Dayak,
antara lain, spirit kebersamaan kelompok urban telah dipandang sebagai tradisi
dan dukungan masyarakat budaya.
Bagi masyarakat Dayak, Gawai Dayak merupakan peristiwa
budaya yang strategis dalam arti membuka peluang menghadirkan kembali budaya
rumah panjang, dan memulihkan kembali dimensi kemanusiaan yang sebelumnya telah
dicabik-cabik, yakni perasaan sederajat dan keyakinan terhadap budaya sendiri.
Di tengah-tengah masyarakat Kalimantan Barat yang
pluralistik, Gawai Dayak diharapkan menjadi media yang potensial untuk
menumbuhkan sensitivitas dan penghargaan terhadap perbedaan, khususnya
perbedaan seni dan budaya. Sensitivitas dan penghargaan terhadap perbedaan ini
penting karena penyangkalan terhadap keragaman kepentingan sebagaimana muncul
dari keberagaman budaya merupakan tindakan penindasan yang menghasilkan
masyarakat yang tidak terbiasa dengan perbedaan dan rawan konflik. Dari
persfektif ini, Gawai Dayak dapat dipandang sebagai salah satu media pembuka
wawasan pluralitas.
Daftar Pustaka
———. 2000. “Sejarah Lisan dan Rekonsiliasi Sosial”. Makalah pada Diskusi Panel Kreativitas Menafsir Trauma Sejarah Menuju Rekonsiliasi. Pontianak, Universitas Tanjungpura.
———. 2000. “Sejarah Lisan dan Rekonsiliasi Sosial”. Makalah pada Diskusi Panel Kreativitas Menafsir Trauma Sejarah Menuju Rekonsiliasi. Pontianak, Universitas Tanjungpura.
———. 2001. “Identitas
Masyarakat Dayak”, dalam Masyarakat Adat Di Dunia, Eksistensi dan
Perjuangannya. Diterbitkan kerja sama antara IWGIA (International
Work Group for Indigenous Affairs Copenhagen, Denmark dan ID (Institue
Dayakology) Pontianak, Indonesia.
Akcaya. 21 /9/ 1997:16. Berita:
“Gawai Gayak Masih Minim Dana”.
Akcaya. 29/4/1994:3.
Berita:”Aswin: Upacara Adat Naik Dango Perlu Diangkat Kepermukaan”.
Akcaya. 30/5/1994. Berita: “Maka‘
Dio, Memantapkan Identitas Dayak”.
Awuy, F. Tommy. 2000. “Rekonsiliasi dan Kesadaran
Dekonstruktif”, Makalah pada Diskusi Panel Kreativitas Menafsir Trauma
Sejarah Menuju Rekonsiliasi. Pontianak, Universitas Tanjungpura.
Djuweng, Stepanus. 1998. “Pembangunan Berarti Penindasan?”, dalam Kalimantan
Review. Pontianak: Institute of Dayakology Research and
Development.
Frans L., E , S. Jacobus, dan Kanyan Concordius. 1944.
“Rumah Panjang Sebagai Pusat Kebudayaan Dayak”, Dalam Kebudayaan Dayak
Aktualisasi dan Transformasi, Edit. Paulus Florus, dkk. Pontianak: LP3S-
Institut of Dayakology Research and Development, Gramedia Jakarta.
Herman Ivo, dkk. 1999. Nilai Budaya Upacara Adat
Perladangan Suku Dayak Kanayathn Kalimantan Barat. Pontianak: Pusat Kajian
Dayak Untan.
Hulten Van, Josef Herman. 1992. Hidupku
di antara Suku Dayak. Jakarta: Gramedia
Kusni, JJ. 1994. Dayak Membangun. Jakarta:
Kolektif the Paragon‘s.
Sinju, Bahari, Herkulanus dkk. 1996. Tradisi
Perladangan Dayak Kanayathn Binua Kaca‘ Kecamatan Menjalin Kabupaten Pontianak,
Kalimantan Barat. Pontianak: Institue Dayakology Research And Development.
Herman Ivo, Doktotandus, Magister Pendidikan,
Staf pengajar Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan, Universitas Tanjungpura, Pontianak
Sumber : http://sejarah.kompasiana.com/2011/09/28/mengenal-sejarah-gawai-dayak-di-kalbar :Humaniora Volume XIII, No. 3/2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar